Oleh: A.Suudin
Wacana pengelolaan dan pemberdayaan migas di Kangean kembali menjadi sorotan publik. Ada yang melihatnya sebagai peluang emas menuju kemandirian ekonomi daerah, ada pula yang mencurigainya sebagai proyek penuh janji tanpa arah. Maka timbul pertanyaan di tengah masyarakat: apakah optimisme yang ditawarkan Bupati Sumenep benar-benar realistis, ataukah sekadar abstraksi yang absurd?
Dalam konteks pembangunan, optimisme adalah bahan bakar utama. Ia menjadi energi bagi birokrasi dan rakyat untuk bergerak bersama. Namun, optimisme tanpa arah, tanpa peta jalan yang jelas, dapat berubah menjadi sekadar retorika yang kehilangan makna. Karena itu, kunci dari setiap optimisme pembangunan adalah keberpihakan nyata terhadap masyarakat di lingkar proyek — bukan sekadar pidato atau seremoni.
Kita harus jujur mengakui: Sumenep, khususnya Kepulauan Kangean, telah lama berada di pinggiran pembangunan. Infrastruktur dasar tertinggal, lapangan kerja terbatas, dan banyak anak muda memilih merantau karena tak ada ruang produktif di kampung sendiri. Maka, ketika peluang migas hadir dengan janji membuka lapangan kerja, membangun jalan, dan memperkuat ekonomi daerah, wajar jika Bupati menunjukkan optimismenya.
Namun, kritik juga tidak boleh dikesampingkan. Sebab, dalam sejarah panjang negeri ini, banyak proyek besar yang berakhir tanpa kesejahteraan bagi rakyat di sekitar sumber daya alam. Jangan sampai migas hanya menjadi “panggung harapan”, sementara manfaatnya justru menguap ke luar daerah.
Bupati dan seluruh pemangku kebijakan harus memastikan bahwa pemberdayaan migas di Kangean tidak berhenti di tataran wacana, melainkan benar-benar menyentuh rakyat:
1. Ada program pelatihan dan sertifikasi bagi tenaga lokal.
2. Ada transparansi mengenai bagi hasil dan dampak lingkungan.
3. Ada ruang partisipasi warga dalam pengawasan sosial.
Jika tiga hal itu terwujud, maka optimisme Bupati bukan lagi abstraksi yang absurd, melainkan keyakinan yang berdasar dan berpijak pada realitas. Sebaliknya, jika semua janji pembangunan hanya berhenti pada spanduk dan rapat-rapat seremonial, maka publik berhak menyebutnya sebagai mimpi kosong yang memanfaatkan nama “kemajuan” tanpa substansi.
Lebih jauh, publik perlu memahami konteks perjuangan yang kini sedang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Selama ini, wilayah Pagerungan — yang menjadi salah satu pusat produksi gas di Kangean — hanya menerima sekitar 2% Dana Bagi Hasil (DBH), itu pun harus dibagi dengan kabupaten lain. Nilai tersebut tentu tidak sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Kangean.
Karena itulah, perjuangan keras Bupati agar pengelolaan migas bisa dilakukan secara onshore (di darat), bukan sekadar ambisi politik. Bila hal itu berhasil, maka Sumenep akan memperoleh hak penuh atas 6% DBH sesuai Undang-Undang Migas, dan itu berarti peningkatan signifikan terhadap pendapatan daerah — sebuah peluang besar untuk memperbaiki infrastruktur, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kepulauan.
Dengan demikian, optimisme yang ditunjukkan Bupati bukanlah omong kosong, melainkan visi tentang kedaulatan energi lokal yang harus didukung dengan kerja nyata, kontrol publik, dan kesadaran bersama.
Pada akhirnya, optimisme sejati tidak lahir dari kata-kata, melainkan dari tindakan yang bisa dirasakan masyarakat. Bupati, pejabat, dan rakyat harus berdiri di garis yang sama: memperjuangkan Kangean yang berdaulat atas sumber daya alamnya, tanpa kehilangan nilai-nilai sosial dan ekologisnya.
Kangean tidak butuh janji yang indah di atas kertas. Kangean butuh kerja, keberanian, dan ketulusan. Jika itu terwujud, maka optimisme yang hari ini terdengar mungkin akan menjadi kenyataan esok hari.