Oleh : H.Safiudin
Tulisan ini saya rangkum dari beberapa jawaban saya atas berbagai pertanyaan seputar kasus Bustam V Suhriyanto pada anggota grup Komunitas Warga Kepulauan ( KWK )
KANGEAN, Kasus antara Ustadz. Suhriyanto ( Desa Pajennangger ) dan Bustam ( Desa Gelaman ) yang belakangan menjadi perhatian masyarakat sejatinya merupakan persoalan perdata yang berlandaskan pada adanya perikatan hutang-piutang. Hal ini diperkuat dengan adanya surat perjanjian tertulis antara kedua belah pihak, yang dalam hukum perdata dikenal sebagai dasar perikatan sah menurut hukum.
Dalam konteks hukum, keterlambatan atau kegagalan Bustam dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian dapat dikategorikan sebagai wanprestasi atau ingkar janji. Dalam sistem hukum Indonesia, penyelesaian perkara seperti ini semestinya disalurkan melalui mekanisme hukum perdata, baik melalui gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) maupun jalur non-litigasi seperti mediasi.
Namun demikian, tindakan Suhriyanto yang kemudian mengambil alih barang milik Bustam tanpa melalui prosedur hukum resmi menimbulkan persoalan baru dan berujung LP. di POLSEK KANGEAN. Meskipun dilandasi keinginan untuk menagih atau memenuhi isi perjanjian, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum karena telah memasuki ranah perbuatan melawan hukum.
Sebagaimana diketahui, pengamanan atau penyitaan atas benda milik pihak lain hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum atau pihak yang secara sah diberi kewenangan oleh negara. Oleh karena itu, tindakan Suhriyanto yang secara sepihak memindahkan barang milik Bustam dapat dikualifikasikan sebagai perampasan, suatu perbuatan yang berpotensi mengandung unsur pidana. Tidak hanya itu, pihak-pihak yang membantu tindakan tersebut juga dapat terkena konsekuensi hukum.
Dari sudut pandang hukum, terdapat beberapa catatan penting dalam kasus ini:
1. Bustam diduga telah lalai dalam memenuhi kewajiban yang disepakati dan secara hukum dapat digolongkan sebagai pihak yang melakukan wanprestasi.
2. Suhriyanto tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan pengambilan paksa barang, dan karenanya perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara hukum.
3. Kelalaian bersama juga perlu disoroti. Pihak ketiga yang berkepentingan, dalam hal ini MY sebagai pendana proyek, seharusnya dilibatkan sejak awal dalam perjanjian agar pembayaran dapat disalurkan langsung kepada yang berhak setelah proyek selesai. Ketidakhadiran MY dalam skema awal berkontribusi terhadap kerumitan masalah ini.
Penulis berpandangan bahwa kasus ini sebaiknya diselesaikan melalui mediasi yang difasilitasi oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Polsek setempat. Pendekatan restoratif dan non-litigasi menjadi penting guna menghindari eskalasi konflik yang tidak diinginkan.
Sebagai catatan, tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun. Perspektif yang disampaikan bertujuan sebagai bentuk pencerahan hukum terhadap situasi yang terjadi. Perbedaan pendapat tentu hal yang wajar dalam dunia hukum, dan penulis menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat pandangan yang tidak sejalan dengan sudut pandang ahli lainnya.