Oleh : Ali Muchson
Sebuah Catatan Keprihatinan atas Komentar Bernada Sarkastis dan Vulgar
Di tengah derasnya arus informasi digital, media sosial (medsos) kini bukan hanya menjadi tempat bersosialisasi, namun juga ruang terbuka untuk mengekspresikan opini, berkomentar, bahkan mengkritik. Sayangnya, dalam praktiknya, tak sedikit komentar yang bermunculan justru bernada sarkastis, vulgar, dan penuh hujatan.
Sasaran komentar ini beragam, mulai dari tokoh publik, institusi, hingga isu-isu aktual yang menjadi perhatian masyarakat. Fenomena ini tak sekadar menunjukkan tingginya antusiasme publik terhadap isu-isu hangat, tetapi juga menjadi cermin nyata bahwa tingkat literasi digital masyarakat masih sangat beragam. Bermuara dari hal itu, menyulut keprihatinan saya.
Perbedaan cara seseorang menyampaikan pendapat di ruang digital ini tak lepas dari latar belakang sosial mereka. Tingkat pendidikan, nilai-nilai agama, budaya lokal, kebiasaan sehari-hari, hingga lingkungan tempat seseorang tumbuh, semua ikut membentuk pola pikir dan cara berinteraksi. Tak mengherankan bila respons terhadap suatu isu bisa sangat beragam, ada yang bijak dan membangun, namun tak sedikit pula yang destruktif.
Sayangnya, masih ada yang memaknai literasi secara sempit: cukup bisa membaca dan menulis, selesai. Padahal, di era digital yang dipenuhi banjir informasi, literasi telah berkembang menjadi keterampilan yang jauh lebih kompleks. Yakni, literasi bukan sekadar kemampuan mengenal huruf dan kalimat, melainkan mencakup kemampuan memahami, menyaring, mengevaluasi, dan mengolah informasi secara kritis dan etis.
Hal itu, kiranya sesuai apa yang dicetuskan oleh UNESCO, literasi modern adalah mencakup kemampuan mengenali, memahami, menafsirkan, mencipta, dan berkomunikasi menggunakan bahan tertulis dan visual dalam berbagai konteks. Artinya, literasi saat ini juga menyentuh aspek berpikir kritis, etika komunikasi, dan kemampuan menyaring informasi secara bijak.
Seseorang yang memiliki literasi baik akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan opini. Ia tak serta-merta ikut arus komentar tanpa tahu duduk perkara. Ia tahu kapan harus bicara, kapan diam, dan bagaimana menyampaikan kritik tanpa menyakiti. Sikap ini dibentuk melalui proses panjang dari pembiasaan membaca dan menulis secara reflektif-argumentatif, hingga membangun narasi dengan empati melalui dialog yang sehat.
Meningkatkan Literasi Mengapa Penting?
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, literasi yang baik bukan hanya membantu seseorang tampil lebih bijak di media sosial. Lebih dari itu, ia menjadi bekal penting dalam menyelesaikan konflik, mengambil keputusan, hingga membangun relasi yang sehat antarsesama, baik di dunia maya maupun di kehidupan yang nyata.
Pertanyaan seperti, “Apakah aya sudah cukup literat?” atau “Apakab komentar saya membawa nilai kebaikan?” adalah awal yang baik untuk melakukan refleksi diri. Di tengah dunia yang penuh dinamika informasi, mereka yang bisa mengelola emosi dan berpikir kritis akan jauh lebih mampu bernalar, tak sumbu pendek dalam berpikir, dan berkontribusi positif.
Oleh sebab itu, alangkah penting sebaiknya kita ubah cara pandang kita tentang literasi. Ia bukan milik kalangan berpendidikan saja, namun ia adalah kebutuhan semua orang. Pun kemampuan literasi seseorang tak lahir secara instan, melainkan tumbuh dari kesediaan belajar, berlatih, memperluas wawasan, dan berani mengubah kebiasaan tak baik menjadi kebiasaan positif.
Di penghujung kata, mari jadikan media sosial bukan sekadar tempat pelampiasan emosi, namun sebagai ruang berbagi ide, inspirasi, dan empati. Literasi bukan tentang seberapa cepat kita membaca atau menulis, namun seberapa dalam kita memahami konteks dan seberapa bijak kita merespons. Lantaran sejatinya, kemampuan interaksi digital seseorang mencerminkan kualitas literasi dan citra dirinya. (Ali Muchson).